Entri Populer

Selasa, 03 April 2012

Siapakah Kau, Perempuan Sempurna?

Ketika akhirnya saya dilamar oleh seorang lelaki, saya luruh dalam kelegaan.
Apalagi lelaki itu, kelihatannya ‘relatif’ sempurna. Hapalannya banyak, shalih, pintar. Ia juga seorang aktivis dakwah yang sudah cukup matang.
Kurang apa coba?

Saya merasa sombong! Ketika melihat para lajang kemudian diwisuda sebagai pengantin, saya secara tak sadar membandingkan, lebih keren mana suaminya
dengan suami saya.

Sampai akhirnya air mata saya harus mengucur begitu deras, ketika suatu hari menekuri 3 ayat terakhir surat At-Tahrim. Sebenarnya, sebagian besar ayat
dalam surat ini sudah mulai saya hapal sekitar 10 tahun silam, saat saya masih semester awal kuliah. Akan tetapi, banyak hapalan saya menguap, dan harus kembali mengucur bak air hujan ketika saya menjadi satu grup dengan seorang calon hafidzah di kelompok pengajian yang rutin saya ikuti.

Ini terjemah ayat tersebut:

66:10. Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang
kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)".

66:11. Dan Allah membuat istri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang lalim",

66: 12. dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.

SEBUAH KONTRADIKSI

Ada 4 orang yang disebut dalam 3 ayat tersebut. Mereka adalah Istri Nuh, Istri Luth, Istri Firaun dan Maryam. Istri Nuh (IN), dan Istri Luth (IL) adalah symbol perempuan kafir, sedangkan Istri Firaun (IF) dan Maryam (M), adalah symbol perempuan beriman. Saya terkejut, takjub dan ternganga ketika menyadari bahwa ada sebuah kontradiksi yang sangat kuat. Allah memberikan sebuah permisalan nan ironis. Mengapa begitu?

IN dan IL adalah contoh perempuan yang berada dalam pengawasan lelaki shalih. Suami-suami mereka setaraf Nabi (bandingkan dengan suami saya! Tak ada apa-apanya, bukan?). Akan tetapi mereka berkhianat, sehingga dikatakanlah kepada mereka, waqilad khulannaaro ma’ad daakhiliin…

Sedangkan antitesa dari mereka, Allah bentangkan kehidupan IF (Asiyah binti Muzahim) dan M. Hebatnya, IF adalah istri seorang thaghut, pembangkang sejati yang berkoar-koar menyebut “ana rabbakumul a’la.” Dan Maryam, ia bahkan tak memiliki suami. Ia rajin beribadah, dan Allah tiba-tiba berkehendak meniupkan ruh dalam rahimnya. Akan tetapi, cahaya iman membuat mereka mampu tetap bertahan di jalan kebenaran. Sehingga Allah memujinya, wa kaanat minal qaanithiin…

PEREMPUAN SEMPURNA

Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:
"Sebaik-baik wanita penghuni surga itu adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Asiyah binti Muzahim istri Firaun, dan Maryam binti Imran." (HR. Ahmad 2720, berderajat shahih).

Empat perempuan itu dipuji sebagai sebaik-baik wanita penghuni surga. Akan tetapi, Rasulullah saw. masih membuat strata lagi dari 4 orang tersebut.

Terpilihlah dua perempuan yang disebut sebagai perempuan sempurna. Rasul bersabda, “Banyak lelaki yang sempurna, tetapi tiada wanita yang sempurna
kecuali Asiyah istri Firaun dan Maryam binti Imran. Sesungguhnya keutamaan Asiyah dibandingkan sekalian wanita adalah sebagaimana keutamaan bubur roti gandum dibandingkan dengan makanan lainnya.” (Shahih al-Bukhari no. 3411).

Inilah yang membuat saya terkejut! Bahkan perempuan sekelas Fathimah dan Khadijah pun masih ‘kalah’ dibanding Asiyah Istri Fir'aun dan Maryam binti Imran.
Apakah gerangan yang membuat Rasul menilai semacam itu?

Ah, saya bukan seorang mufassir ataupun ahli hadits. Namun, dalam keterbatasan yang saya mengerti, tiba-tiba saya sedikit meraba-raba, bahwa penyebabnya adalah karena keberadaan suami. Khadijah, ia perempuan hebat, namun ia tak sempurna, karena ia diback-up total oleh Rasul terkasih Muhammad saw., seorang lelaki hebat. Fathimah, ia dahsyat, namun ia tak sempurna, karena ada Ali bin Abi Thalib ra, seorang pemuda mukmin yang tangguh.

Sedangkan Asiyah? Saat ia menanggung deraan hidup yang begitu dahsyat, kepada siapa ia menyandarkan tubuhnya, karena justru yang menyiksanya adalah suaminya sendiri. Siksaan yang membuat ia berdoa, dengan gemetar, "Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari
kaum yang lalim." Siksaan yang membuat nyawanya terbang, ah… tidak mati, namun menuju surga. Mendapatkan rizki dan bersukaria dengan para penduduk
akhirat.

Bagaimana pula dengan Maryam? Ia seorang lajang yang dipilih Allah untuk menjadi ibunda bagi Nabi Isa. Kepada siapa ia mengadu atas tindasan kaumnya yang menuduh ia sebagai pezina?
Pantas jika Rasul menyebut mereka: Perempuan sempurna…

JADI, YANG MENGANTAR ke Surga, Adalah Amalan Kita

Jadi, bukan karena (sekadar) lelaki shalih yang menjadi pendamping kita.
Suami yang baik, memang akan menuntun kita menuju jalan ke surga,
mempermudah kita dalam menjalankan perintah agama. Namun, jemari akan teracung pada para perempuan yang dengan kelajangannya (namun bukan sengaja melajang), atau dengan kondisi suaminya yang memprihatinkan (yang juga bukan karena kehendak kita), ternyata tetap bisa beramal dan cemerlang dalam cahaya iman. Kalian adalah Maryam-Maryam dan Asiyah-Asiyah, yang lebih hebat dari Khadijah-Khadijah dan Fathimah-Fathimah.

Sebaliknya, alangkah hinanya para perempuan yang memiliki suami-suami nan shalih, namun pada kenyataannya, mereka tak lebih dari istri Nabi Nuh dan
istri Nabi Luth. Yang alih-alih mendukung suami dalam dakwah, namun justru menggelendot manja, “Mas… kok pergi pengajian terus sih, sekali-kali libur dong!” Atau, “Mas, aku pengin beli motor yang bagus, gimana kalau Mas
korupsi aja…”

Benar, bahwa istri hebat ada di samping suami hebat. Namun, lebih hebat lagi adalah istri yang tetap bisa hebat meskipun terpaksa bersuamikan orang tak hebat, atau bahkan tetapi melajang karena berbagai sebab nan syar’i. Dan betapa rendahnya istri yang tak hebat, padahal suaminya orang hebat dan membentangkan baginya berbagai kemudahan untuk menjadi hebat. Hebat sebagai hamba Allah Ta'ala!

Wallahu a’lam bish-shawwab.
( By: Afifah Afra)

Semoga Bermanfaat... ^_^

Senin, 19 Desember 2011

Hukum Wakalah


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Di antara masalah-masalah yang banyak melibatkan anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah  muamalah (akad, transaksi) dalam berbagai bidang. Karena masalh muamalah ini langsung melibatkan manusia dalam masyarakat, maka pedoman dan tatanannya pun perlu dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia. Kesadaran bermuamalah hendaknya tertanam lebih dahulu dalam diri masing-masing, sebelum orang terjun ke dalam kegiatan muamalah itu. Pemahaman agama, pengendalian diri, pengalaman, akhlaqul-karimah dan pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah hendaknya dikuasai sehingga menyatu dalam diri pelaku (pelaksana) muamalah itu.
Dari sekian banyak transaksi atau akad yang ada, salah satunya adalah wakalah.. Terkadang seseorang tidak mampu melakukan sesuatu pekerjaan mungkinkarena tidak memiliki kompetensi atau keterbatasan waktu dan tenaga untuk menyelesaikannya. Biasannya ia akan memberikan mandat/mewakilkan kepada orang lain guna menyelesaikan pekerjaan yang dimaksud. Hal ini lazim disebut dengan wakalah, yang lebih lanjut akan dibahas di makalah ini.

B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut, penyusun dapat merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan wakalah?
2.      Bagaimanakah dasar hukum wakalah menurut Al-Quran dan Hadits?
3.      Apa sajakah rukun dan syarat syah wakalah?
4.      Apa saja macam-macam wakalah dan berakhirnya wakalah?
5.      Bagaimana aplikasi wakalah dalam perbankan?

BAB II
PEMBAHASAN


A.      Pengertian
1.        Menurut Kaidah Bahasa
Dari sekian banyak akad-akad yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Wakalah termasuk salah satu akad yang menurut kaidah Fiqh Muamalah, akad Wakalah dapat diterima. Wakalah itu berarti perlindungan (al-hifzh), pencukupan (al-kifayah), tanggungan (al-dhamah), atau pendelegasian (al-tafwidh), yang diartikan juga dengan memberikan kuasa atau mewakilkan.
Dalam penyataan lain, wakalah atau wakilah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Dalam bahasa Arab, hal ini dapat dipahami sebagai at-tawfidh. Contoh kalimat ”aku serahkan urusanku kepada Allah” mewakili pengertian istilah tersebut.[1] Akan tetapi, yang dimaksud sebagai al-wakalah dalam pembahasan ini adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.

Adapula pengertian-pengertian lain dari Wakalah lainnya yaitu:
  1. Wakalah atau wikalah yang berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
  2. Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan (dalam hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang yang diberikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah dilaksanakan sesuai yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab atas dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau pemberi kuasa.[2]

2.        Menurut Pandangan Ulama
Wakalah memiliki beberapa makna yang cukup berbeda menurut beberapa ulama. Berikut adalah pandangan dari para ulama:
  1. Menurut Hashbi Ash Shiddieqy, Wakalah adalah akad penyerahan kekuasaan, yang pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam bertindak (bertasharruf).
  2. Menurut Sayyid Sabiq, Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.
  3. Ulama Malikiyah, Wakalah adalah tindakan seseorang mewakilkan dirinya kepada orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan yang merupakan haknya yang tindakan itu tidak dikaitkan dengan pemberian kuasa setelah mati, sebab jika dikaitkan dengan tindakan setelah mati berarti sudah berbentuk wasiat.
  4. Menurut Ulama Syafi’iah mengatakan bahwa Wakalah adalah suatu ungkapan yang mengandung suatu pendelegasian sesuatu oleh seseorang kepada orang lain supaya orang lain itu melaksanakan apa yang boleh dikuasakan atas nama pemberi kuasa.

B.       Dasar Hukum Wakalah
Menurut agama Islam, seseorang boleh mendelegasikan suatu tindakan tertentu kepada orang lain dimana orang lain itu bertindak atas nama pemberi kuasa atau yang mewakilkan sepanjang hal-hal yang dikuasakan itu boleh didelegasikan oleh agama. Dalil yang dipakai untuk menunjukkan kebolehan itu, antara lain :
1.        Al-Qur’an
Salah satu dasar dibolehkannya al-wakalah adalah firman Allah SWT berkenaan dengan Ash-habul Kahfi,
“Dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.” (Q.S. Al-Kahfi: 19).

Ayat ini melukiskan perginya salah seorang ash-habul kahfi yang bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.[3]

a.       Q.S. Al-Baqarah: 283
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah: 283)

b.      QS An-Nisaa: 35
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS An-Nisaa: 35)

c.       QS Yusuf: 55
“Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”

2.        Al-Hadits
Banyak hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahan Wakalah, diantaranya:
“Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Al Harits”.
(HR. Malik dalam al-Muwaththa’)[4]
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
 (HR Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf)

Dalam kehidupan sehari-hari, Rosulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan. Diantaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan lain-lain.

3.        Ijma’
Para ulama pun bersepakat dengan ijma’ atas diperbolehkannya Wakalah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau tolong-menolong atas dasar kebaikan dan taqwa. Tolong-menolong diserukan oleh Al-Qur’an dan disunahkan oleh Rasulullah.[5]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram,  jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Q.S. Al-Maidah: 2)
                                                                                         
C.      Rukun dan Syarat Syahnya Wakalah
Menurut kelompok Hanafiah, rukun Wakalah itu hanya ijab qabul. Ijab merupakan pernyataan mewakilkan sesuatu dari pihak yang memberi kuasa dan qabul adalah penerimaan pendelegasian itu dari pihak yang diberi kuasa tanpa harus terkait dengan menggunakan sesuatu lafaz tertentu. Akan tetapi, jumhur ulama tidak sependirian dengan pandangan tersebut. Mereka berpendirian bahwa rukun dan syarat Wakalah itu adalah sebagai berikut:
1.      Orang yang mewakilkan (Al-Muwakkil)
Seseoarang yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki hak untuk bertasharruf pada bidang-bidang yang didelegasikannya. Karena itu seseorang tidak akan sah jika mewakilkan sesuatu yang bukan haknya.
Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi lain juga dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf. Tidak boleh seorang pemberi kuasa itu masih belum dewasa yang cukup akal serta pula tidak boleh seorang yang gila. Menurut pandangan Imam Syafi’I anak-anak yang sudah mumayyiz tidak berhak memberikan kuasa atau mewakilkan sesuatu kepada orang lain secara mutlak. Namun madzhab Hambali membolehkan pemberian kuasa dari seorang anak yang sudah mumayyiz pada bidang-bidang yang akan dapat mendatangkan manfaat baginya.

2.      Orang yang diwakilkan. (Al-Wakil)
Penerima kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan yang mengatur proses akad wakalah ini. Sehingga cakap hukum menjadi salah satu syarat bagi pihak yng diwakilkan.
Seseorang yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan untuk menjalankan amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa. ini berarti bahwa ia tidak diwajibkan menjamin sesuatu yang diluar batas, kecuali atas kesengajaanya,

3.      Obyek yang diwakilkan.
Obyek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli, pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan pihak yang memberikan kuasa.
Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya. Selain itu hal-hal yang diwakilkan itu tidak ada campur tangan pihak yang diwakilkan.
Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga obyek yang akan diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar Syari’ah Islam.

4.      Shighat
Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Dari mulai aturan memulai akad wakalah ini, proses akad, serta aturan yang mengatur berakhirnya akad wakalah ini.
Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa. Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas pemberi kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu.

Fatwa MUI Mengenai Wakalah
            Seiring dengan berkembangnya institusi keuangan Islam di Indonesia, maka suatu aturan hukum turut pula dikembangkan untuk melegalisasi serta melindungi akad-akad yang sesuai Syari’ah Islam diterapkan dalam Sistem Keuangan Islam di Indonesia. Maka dari itu, Dewan Syari’ah Nasional – Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa NO: 10/DSN-MUI/IV/2000.
            Fatwa ini ditetapkan pada saat Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional (8 Muharram 1421 H./13 April 2000) yang menetapkan:
  1. Ketentuan Wakalah.
  2. Rukun dan Syarat Wakalah
  3. Aturan terjadinya perselisihan

D.      Macam-macam Wakalah dan Berakhirnya Wakalah
1.         Macam-macam Wakalah
Secara global, wakalah ada dua macam, yaitu :
a.       Wakalah Muqayyadah
Yaitu perwakilan yang terikat dengan syarat yang telah ditentukan dan disepakati bersama. Dalam keterangan lain yaitu akad wakalah dimana wewenang dan tindakan si wakil dibatasi dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya jualah mobilku dengan harga 100 juta jika kontan dan 150 juta jika kredit
b.       Wakalah Muthlaqoh
Yaitu perwakilan secara mutlak. Maka seorang wakil dapat melakukan
wakalah secara luas. Atau akad wakalah dimana wewenang dan wakil tidak dibatasi dengan syarat atau kaidah tertentu, misalnya jualah mobil ini, tanpa menyebutkan harga yang diinginkan.

Selain itu, keterangan lain menyebutkan bahwa Macam-macamnya adalah Wakalah dapat dibedakan menjadi al-wakala al-khosshoh dan al-wakalah al-ammah.
a.       Al-wakalah al-khosshoh
Al-wakalah al-khosshosh adalah wakalah dimana prosesi pendelegasian wewenang untuk menggantikan sebuah posisi pekerjaan yang bersifat spesifik. Dan spesifikasinyapun telah jalas, seperti halnya membeli Honda tipe X, menjadi advokat untuk menyelesaikan kasus tertentu.
b.      Al-wakalah al-‘ammah
Al-wakalah al-‘ammah adalah akad wakalah dimana prosesi pendelegasian wewenang bersifat umum, tanpa adanya spesifikasi. Seperti belikanlah aku mobil apa saja yang kamu temui

2.         Berakhirnya Wakalah
1.      Apabila maksud yang dalam akad wakalah itu selesai pelaksanaannya atau dihentikan maksud dari pekerjaan tersebut.
2.      Waktunya berakhir/ diputusnya akad wakalah
3.      Barang diambilalih orang lain
4.      Tujuan telah tercapai
5.      Terjadi perselisihan
6.      Salah satu pihak yang akad wafat atau gila
7.      Dilaksanakan sendiri
8.      Akad dibatalkan
9.      Wakil berkhianat
10.  Kuasanya dicabut/ Hilangnya kekuasaan atau hak pemberi kuasa atas sesuatu objek yang dikuasakan.

E.       Aplikasi Wakalah Dalam Perbankan
Akad Wakalah dapat diaplikasikan ke dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang ekonomi, terutama dalam institusi keuangan.
Aplikasi wakalah dalam konteks tabarru dalam perbankan syariah berbentuk jasa pelayanan, di mana bank syariah memberikan jasa wakalah sebagai wakildari nasabah sebagai pemberi kuasa (muwakil) untuk melakukan sesuatu(taukil) dalam hal ini, bank akan mendapa upah atau biaya administrasi atas jasanya tersebut. Sebagai contoh: bank dapat menjadi wakil untuk melakukan pembayaran tagihan listrik atau telepon kepada perusahaan listrik/perusahaan telepon.[6]
Selain itu ada beberapa aplikasi lainnya yang menggunakan wakalah, di antaranya yaitu:
1.      Transfer uang
Proses transfer uang ini adalah proses yang menggunakan konsep akad Wakalah, dimana prosesnya diawali dengan adanya permintaan nasabah sebagai Al-Muwakkil terhadap bank sebagai Al-Wakil untuk melakukan perintah/permintaan kepada bank untuk mentransfer sejumlah uang kepada rekening orang lain, kemudian bank mendebet rekening nasabah (Jika transfer dari rekening ke rekening), dan proses yang terakhir yaitu dimana bank mengkreditkan sejumlah dana kepada kepada rekening tujuan. Berikut adalah beberapa contoh proses dalam transfer uang ini
b.      Wesel Pos
Pada proses wesel pos, uang tunai diberikan secara langsung dari Al-Muwakkil kepada Al-Wakil, dan Al-Wakil memberikan uangnya secara langsung kepada nasabah yang dituju. Berikut adalah proses pentransferan uang dalam Wesel Pos.
c.       Transfer uang melalui cabang suatu bank
Dalam proses ini, Al-Muwakkil memberikan uangnya secara tunai kepada bank yang merupakan Al-Wakil, namun bank tidak memberikannya secara langsung kepada nasabah yang dikirim. Tetapi bank mengirimkannya kepada rekening nasabah yang dituju tersebut. Berikut adalah proses pentrasferan uang melalui cabang sebuah bank.
d.      Transfer melalui ATM
Kemudian ada juga proses transfer uang dimana pendelegasian untuk mengirimkan uang, tidak secara langsung uangnya diberikan dari Al-Muwakkil kepada bank sebagai Al-Wakil. Dalam model ini, Nasabah Al-Muwakkil meminta bank untuk mendebet rekening tabungannya, dan kemudian meminta bank untuk menambahkan di rekening nasabah yang dituju sebesar pengurangan pada rekeningnya sendiri. Yang sangat sering terjadi saat ini adalah proses yang ketiga ini, dimana nasabah bisa melakukan transfer sendiri melalui mesin ATM.

2.      Letter Of Credit Import Syariah
Akad untuk transaksi Letter of Credit Import Syariah ini menggunakan akad Wakalah Bil Ujrah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 34/DSN-MUI/IX/2002. Akad Wakalah bil Ujrah ini memiliki definisi dimana nasabah memberikan kuasa kepada bank dengan imbalan pemberian ujrah atau fee. Namun ada beberapa modifikasi dalam akad ini sesuai dengan sutuasi yang terjadi.[7]
a.       Akad Wakalah bil Ujrah dengan ketentuan:
1)      Importir harus memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran barang yang diimpor.
2)      Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor.
3)       Besar ujrah harus disepakati diawal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.
b.      Akad Wakalah bil Ujrah dan Qardh dengan ketentuan:
1)   Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor.
2)    Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor.
3)   Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.
Bank memberikan dana talangan (qardh) kepada importir untuk pelunasan pembayaran barang impor.
c.       Akad Wakalah bil Ujrah dan Mudharabah, dengan ketentuan:
1)   Nasabah melakukan akad wakalah bil ujrah kepada bank untuk melakukan pengurusan dokumen dan pembayaran.
2)    Bank dan importir melakukan akad Mudharabah, dimana bank bertindak selaku shahibul mal menyerahkan modal kepada importir sebesar harga barang yang diimpor.
d.      Akad Wakalah bil Ujrah dan Hiwalah, dengan ketentuan:
1)   Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor.
2)   Importir dan Bank melakukan akad Wakalah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor.
3)    Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk presentase.
Hutang kepada eksportir dialihkan oleh importir menjadi hutang kepada Bank dengan meminta bank membayar kepada eksportir senilai barang yang diimpor.

3.      Letter Of Credit Eksport Syariah
Akad untuk transaksi Letter of Credit Eksport Syariah ini menggunakan akad Wakalah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 35/DSN-MUI/IX/2002. Akad Wakalah ini memiliki definisi dimana bank menerbitkan surat pernyataan akan membayar kepada eksportir untuk memfasilitasi perdagangan eksport. Namun ada beberapa modifikasi dalam akad ini sesuai dengan sutuasi yang terjadi.
a.       Akad Wakalah bil Ujrah dengan ketentuan:
1)      Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor.
2)      Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuing bank), selanjutnya dibayarkan kepada eksportir setelah dikurangi ujrah.[8]

4.      Investasi Reksadana Syariah
Akad untuk transaksi Investasi Reksadana Syariah ini menggunakan akad Wakalah dan Mudharabah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 20/DSN-MUI/IV/2001. Akad Wakalah ini memiliki definisi dimana pemilik modal memberikan kuasa kepada manajer investasi agar memiliki kewenangan untuk menginvestasikan dana dari pemilik modal.

5.      Pembiayaan Rekening Koran Syariah
Akad untuk transaksi pembiayaan rekening koran syariah ini menggunakan akad Wakalah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 30/DSN/VI/2002. Akad Wakalah ini memiliki definisi dimana bank memberikan kuasa kepada nasabah untuk melakukan transaksi yang diperlukan. 

6.      Asuransi Syariah
Akad untuk Asuransi syariah ini menggunakan akad Wakalah bil Ujrah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 52/DSN-MUI/III/2006. Akad Wakalah bil Ujrah ini memiliki definisi dimana pemegang polis memberikan kuasa kepada pihak asuransi untuk menyimpannya ke dalam tabungan maupun ke dalam non-tabungan.
Dalam model ini, pihak asuransi berperan sebagai Al-Wakil dan pemegang polis sebagai Al-Muwakil.









BAB III
PENUTUP

A.          Simpulan
Wakalah termasuk salah satu akad yang terdapat dalam kaidah Fiqh Muamalah, akad Wakalah dapat diterima. Wakalah itu berarti perlindungan, penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
Dari jenisnya Wakalah terbagi menjadi wakalah al muthlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, Wakalah al muqayyadah dan Wakalah al ammaha, dari tinjauan hukum, Wakalah di tetapkan dengan dasar hukum yang bersumber dari Al-quran, Hadits  dan  ijam' ulama.
Rukun dan syarat al-wakalah adalah adanya Al-Muwakkil (Pemberi kuasa), Al-Wakil (Penerima kuasa), Shighat (ucapan perwakilan) dan Al-Muwakkal fihi (obyek atau pekerjaan yang dikuasakan). Dan wakalah akan berakhir apabila di batalkan oleh kedua belah pihak, kedua belah pihak mengalami kecacatan tasharruf dan hilangnya status kepemilikan si pemberi kuasa.
Aplikasi wakalah dalam dalam kehidupan sehari-hari yaitu contohnya dalam perbankan, berbentuk jasa pelayanan, bank dapat menjadi wakil untuk melakukan pembayaran tagihan listrik atau telepon kepada perusahaan listrik/perusahaan telepon

B.           Saran
Penyusun berharap, siapa saja dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penyusun demi sempurnanya makalah ini dan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya menjadi lebih baik. Semoga makalah ini berguna bagi penyusun pada khususnya juga para pembaca  pada umumnya.







DAFTAR PUSTAKA



Abdul Jalil, Ma’ruf. Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah
 Antonio, M.  Syafi’i. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Tazkia Cendekia.
Ascarya.  2007. Akad dam produk Bank Syariah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
Azhim, Abdul. Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1997. Al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu. Damaskus: Darul Fikr.
Dewan Syariah Nasional, Fatwa tentang Hawalah, No.12 /DSN-MUI/IV/2000, Majelis Ulama Indonesia
Dewan Syariah Nasional, Fatwa tentang Letter of Credit (L/C) Impor Syariah, No.34 /DSN-MUI/IX/2002, Majelis Ulama Indonesia
Dewan Syariah Nasional, Fatwa tentang Wakalah No.10/DSN-MUI/IV/2000, Majelis Ulama Indonesia

Dewan Syariah Nasional, Fatwa tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi Syariah  No.52/DSN-MUI/III/2006, Majelis Ulama Indonesia
Sabiq, Sayyid. 1987. Fiqhus Sunnah. Cetakan ke-8, vol. III. Beirut: Darul al-Arabi.
(http//pa_tanahgrogot.net)



[1] Sayyid Sabiq. Fiqhus Sunnah. Hlm. 213
[2] Drs. Azhari, M,HI. Jenis-jenis Akad Dalam Perbankan Syari’ah.
[3] M. Syafii. Antonio. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek. Hlm. 121.
[4] Malik no. 678, kitab al-Muwaththa’, bab Haji
[5] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu. Hlm. 4060
[6] Drs. Azhari, M,HI. Jenis-jenis Akad Dalam Perbankan Syari’ah. Hlm. 102
[7] Dewan Syariah Nasional, Fatwa tentang Letter of Credit (L/C) Impor Syariah, No.34 /DSN-MUI/IX/2002, Majelis Ulama Indonesia
[8] Dewan Syariah Nasional, Fatwa tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi Syariah  No.52/DSN-MUI/III/2006, Majelis Ulama Indonesia