BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Di antara
masalah-masalah yang banyak melibatkan anggota masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari adalah masalah muamalah
(akad, transaksi) dalam berbagai bidang. Karena masalh muamalah ini langsung
melibatkan manusia dalam masyarakat, maka pedoman dan tatanannya pun perlu
dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan
pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia. Kesadaran
bermuamalah hendaknya tertanam lebih dahulu dalam diri masing-masing, sebelum
orang terjun ke dalam kegiatan muamalah itu. Pemahaman agama, pengendalian
diri, pengalaman, akhlaqul-karimah dan pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah
hendaknya dikuasai sehingga menyatu dalam diri pelaku (pelaksana) muamalah itu.
Dari sekian banyak
transaksi atau akad yang ada, salah satunya adalah wakalah.. Terkadang
seseorang tidak mampu melakukan sesuatu pekerjaan mungkinkarena tidak memiliki
kompetensi atau keterbatasan waktu dan tenaga untuk menyelesaikannya. Biasannya
ia akan memberikan mandat/mewakilkan kepada orang lain guna menyelesaikan
pekerjaan yang dimaksud. Hal ini lazim disebut dengan wakalah, yang lebih
lanjut akan dibahas di makalah ini.
B. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut, penyusun dapat merumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.
Apa
yang dimaksud dengan wakalah?
2.
Bagaimanakah
dasar hukum wakalah menurut Al-Quran dan Hadits?
3.
Apa
sajakah rukun dan syarat syah wakalah?
4.
Apa
saja macam-macam wakalah dan berakhirnya wakalah?
5.
Bagaimana
aplikasi wakalah dalam perbankan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
1.
Menurut Kaidah Bahasa
Dari
sekian banyak akad-akad yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Wakalah
termasuk salah satu akad yang menurut kaidah Fiqh Muamalah, akad Wakalah
dapat diterima. Wakalah itu berarti perlindungan (al-hifzh),
pencukupan (al-kifayah), tanggungan (al-dhamah), atau
pendelegasian (al-tafwidh), yang diartikan juga dengan memberikan kuasa
atau mewakilkan.
Dalam
penyataan lain, wakalah atau wakilah berarti penyerahan,
pendelegasian, atau pemberian mandat. Dalam bahasa Arab, hal ini dapat dipahami
sebagai at-tawfidh. Contoh kalimat
”aku serahkan urusanku kepada Allah” mewakili pengertian istilah tersebut.[1] Akan
tetapi, yang dimaksud sebagai al-wakalah
dalam pembahasan ini adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang
lain dalam hal-hal yang diwakilkan.
Adapula pengertian-pengertian
lain dari Wakalah lainnya yaitu:
- Wakalah atau wikalah yang berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
- Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama
kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan (dalam
hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau
wewenang yang diberikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah
dilaksanakan sesuai yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab
atas dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau
pemberi kuasa.[2]
Wakalah
memiliki beberapa makna yang cukup berbeda menurut beberapa ulama. Berikut
adalah pandangan dari para ulama:
- Menurut Hashbi Ash Shiddieqy, Wakalah adalah
akad penyerahan kekuasaan, yang pada akad itu seseorang menunjuk orang
lain sebagai penggantinya dalam bertindak (bertasharruf).
- Menurut Sayyid Sabiq, Wakalah adalah
pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang
boleh diwakilkan.
- Ulama Malikiyah, Wakalah adalah tindakan
seseorang mewakilkan dirinya kepada orang lain untuk melakukan
tindakan-tindakan yang merupakan haknya yang tindakan itu tidak dikaitkan
dengan pemberian kuasa setelah mati, sebab jika dikaitkan dengan tindakan
setelah mati berarti sudah berbentuk wasiat.
- Menurut Ulama Syafi’iah mengatakan bahwa Wakalah
adalah suatu ungkapan yang mengandung suatu pendelegasian sesuatu oleh
seseorang kepada orang lain supaya orang lain itu melaksanakan apa yang
boleh dikuasakan atas nama pemberi kuasa.
B.
Dasar Hukum Wakalah
Menurut
agama Islam, seseorang boleh mendelegasikan suatu tindakan tertentu kepada
orang lain dimana orang lain itu bertindak atas nama pemberi kuasa atau yang
mewakilkan sepanjang hal-hal yang dikuasakan itu boleh didelegasikan oleh
agama. Dalil yang dipakai untuk menunjukkan kebolehan itu, antara lain :
1.
Al-Qur’an
Salah
satu dasar dibolehkannya al-wakalah adalah firman Allah SWT berkenaan dengan
Ash-habul Kahfi,
“Dan Demikianlah
Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri.
berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada
(disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau
setengah hari". berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih
mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di
antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah
Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan
itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali
menceritakan halmu kepada seorangpun.” (Q.S. Al-Kahfi: 19).
Ayat ini melukiskan
perginya salah seorang ash-habul kahfi yang bertindak untuk dan atas nama
rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.[3]
a.
Q.S. Al-Baqarah: 283
“Jika kamu dalam
perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah: 283)
b. QS An-Nisaa: 35
“Dan
jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang
hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika
kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi
taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (QS An-Nisaa: 35)
c.
QS Yusuf: 55
“Berkata
Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”
2.
Al-Hadits
Banyak
hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahan Wakalah, diantaranya:
“Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk
mewakilkannya mengawini Maimunah binti Al Harits”.
(HR. Malik
dalam al-Muwaththa’)[4]
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin
kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram;
dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
(HR Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf)
Dalam
kehidupan sehari-hari, Rosulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk
berbagai urusan. Diantaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had
dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan
lain-lain.
3.
Ijma’
Para
ulama pun bersepakat dengan ijma’ atas diperbolehkannya Wakalah. Mereka
bahkan ada yang cenderung mensunahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut
termasuk jenis ta’awun atau tolong-menolong atas dasar kebaikan dan taqwa.
Tolong-menolong diserukan oleh Al-Qur’an dan disunahkan oleh Rasulullah.[5]
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan
melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya,
dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya
dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada
mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah
kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (Q.S. Al-Maidah: 2)
C.
Rukun dan Syarat Syahnya Wakalah
Menurut
kelompok Hanafiah, rukun Wakalah itu hanya ijab qabul. Ijab merupakan
pernyataan mewakilkan sesuatu dari pihak yang memberi kuasa dan qabul adalah
penerimaan pendelegasian itu dari pihak yang diberi kuasa tanpa harus terkait
dengan menggunakan sesuatu lafaz tertentu. Akan tetapi, jumhur ulama tidak
sependirian dengan pandangan tersebut. Mereka berpendirian bahwa rukun dan
syarat Wakalah itu adalah sebagai berikut:
1.
Orang
yang mewakilkan (Al-Muwakkil)
Seseoarang yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan
memiliki hak untuk bertasharruf pada bidang-bidang yang didelegasikannya.
Karena itu seseorang tidak akan sah jika mewakilkan sesuatu yang bukan haknya.
Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang
dikuasakannya, disisi lain juga dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap
bertindak atau mukallaf. Tidak boleh seorang pemberi kuasa itu masih belum
dewasa yang cukup akal serta pula tidak boleh seorang yang gila. Menurut
pandangan Imam Syafi’I anak-anak yang sudah mumayyiz tidak berhak memberikan
kuasa atau mewakilkan sesuatu kepada orang lain secara mutlak. Namun madzhab
Hambali membolehkan pemberian kuasa dari seorang anak yang sudah mumayyiz pada
bidang-bidang yang akan dapat mendatangkan manfaat baginya.
2.
Orang
yang diwakilkan. (Al-Wakil)
Penerima kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu
aturan-aturan yang mengatur proses akad wakalah ini. Sehingga cakap hukum
menjadi salah satu syarat bagi pihak yng diwakilkan.
Seseorang yang menerima kuasa ini, perlu memiliki
kemampuan untuk menjalankan amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa. ini
berarti bahwa ia tidak diwajibkan menjamin sesuatu yang diluar batas, kecuali
atas kesengajaanya,
3.
Obyek
yang diwakilkan.
Obyek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang
lain, seperti jual beli, pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada
dalam kekuasaan pihak yang memberikan kuasa.
Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan
sesuatu yang bersifat ibadah badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan
sesuatu yang bersifat ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya.
Selain itu hal-hal yang diwakilkan itu tidak ada campur tangan pihak yang
diwakilkan.
Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain.
Sehingga obyek yang akan diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar
Syari’ah Islam.
4.
Shighat
Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa
dengan penerima kuasa. Dari mulai aturan memulai akad wakalah ini, proses akad,
serta aturan yang mengatur berakhirnya akad wakalah ini.
Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi
kuasa kepada penerima kuasa. Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu
dijelaskan untuk dan atas pemberi kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu.
Fatwa MUI
Mengenai Wakalah
Seiring dengan berkembangnya institusi keuangan Islam di Indonesia, maka suatu
aturan hukum turut pula dikembangkan untuk melegalisasi serta melindungi
akad-akad yang sesuai Syari’ah Islam diterapkan dalam Sistem Keuangan Islam di
Indonesia. Maka dari itu, Dewan Syari’ah Nasional – Majelis Ulama Indonesia
telah mengeluarkan fatwa NO: 10/DSN-MUI/IV/2000.
Fatwa ini ditetapkan pada saat Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional (8 Muharram
1421 H./13 April 2000) yang menetapkan:
- Ketentuan Wakalah.
- Rukun dan Syarat Wakalah
- Aturan terjadinya perselisihan
D. Macam-macam Wakalah dan Berakhirnya Wakalah
1.
Macam-macam Wakalah
Secara global, wakalah ada dua macam, yaitu :
a.
Wakalah Muqayyadah
Yaitu perwakilan yang terikat dengan syarat yang
telah ditentukan dan disepakati
bersama. Dalam keterangan
lain yaitu akad wakalah dimana wewenang dan tindakan si wakil
dibatasi dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya jualah mobilku dengan harga
100 juta jika kontan dan 150 juta jika kredit
b. Wakalah Muthlaqoh
Yaitu perwakilan secara mutlak. Maka seorang wakil
dapat melakukan
wakalah secara luas. Atau akad wakalah dimana wewenang dan
wakil tidak dibatasi dengan syarat atau kaidah tertentu, misalnya jualah mobil
ini, tanpa menyebutkan harga yang diinginkan.
Selain itu, keterangan lain menyebutkan bahwa Macam-macamnya adalah Wakalah dapat dibedakan
menjadi al-wakala al-khosshoh dan al-wakalah al-ammah.
a.
Al-wakalah al-khosshoh
Al-wakalah
al-khosshosh adalah wakalah dimana prosesi pendelegasian wewenang
untuk menggantikan sebuah posisi pekerjaan yang bersifat spesifik. Dan
spesifikasinyapun telah jalas, seperti halnya membeli Honda tipe X, menjadi
advokat untuk menyelesaikan kasus tertentu.
b.
Al-wakalah al-‘ammah
Al-wakalah al-‘ammah adalah akad
wakalah dimana prosesi pendelegasian wewenang bersifat umum, tanpa adanya
spesifikasi. Seperti belikanlah aku mobil apa saja yang kamu temui
2.
Berakhirnya
Wakalah
1. Apabila
maksud yang dalam akad wakalah itu selesai pelaksanaannya atau dihentikan
maksud dari pekerjaan tersebut.
2.
Waktunya
berakhir/ diputusnya akad wakalah
3.
Barang
diambilalih orang lain
4.
Tujuan
telah tercapai
5.
Terjadi
perselisihan
6. Salah satu pihak yang akad wafat
atau gila
7.
Dilaksanakan
sendiri
8.
Akad
dibatalkan
9.
Wakil
berkhianat
10. Kuasanya dicabut/ Hilangnya
kekuasaan atau hak pemberi kuasa atas sesuatu objek yang dikuasakan.
E. Aplikasi Wakalah Dalam Perbankan
Akad Wakalah dapat diaplikasikan
ke dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang ekonomi, terutama dalam
institusi keuangan.
Aplikasi wakalah dalam konteks tabarru
dalam perbankan syariah berbentuk jasa pelayanan, di mana bank syariah
memberikan jasa wakalah sebagai wakildari nasabah sebagai pemberi kuasa
(muwakil) untuk melakukan sesuatu(taukil) dalam hal ini, bank akan mendapa upah
atau biaya administrasi atas jasanya tersebut. Sebagai contoh: bank dapat
menjadi wakil untuk melakukan pembayaran tagihan listrik atau telepon kepada
perusahaan listrik/perusahaan telepon.[6]
Selain itu ada beberapa aplikasi
lainnya yang menggunakan wakalah, di antaranya yaitu:
1.
Transfer uang
Proses transfer uang ini adalah proses yang menggunakan
konsep akad Wakalah, dimana prosesnya diawali dengan adanya permintaan
nasabah sebagai Al-Muwakkil terhadap bank sebagai Al-Wakil untuk
melakukan perintah/permintaan kepada bank untuk mentransfer sejumlah uang
kepada rekening orang lain, kemudian bank mendebet rekening nasabah (Jika
transfer dari rekening ke rekening), dan proses yang terakhir yaitu dimana bank
mengkreditkan sejumlah dana kepada kepada rekening tujuan. Berikut adalah
beberapa contoh proses dalam transfer uang ini
b. Wesel Pos
Pada proses
wesel pos, uang tunai diberikan secara langsung dari Al-Muwakkil kepada Al-Wakil,
dan Al-Wakil memberikan uangnya secara langsung kepada nasabah yang
dituju. Berikut adalah proses pentransferan uang dalam Wesel Pos.
c. Transfer uang melalui
cabang suatu bank
Dalam proses
ini, Al-Muwakkil memberikan uangnya secara tunai kepada bank yang
merupakan Al-Wakil, namun bank tidak memberikannya secara langsung
kepada nasabah yang dikirim. Tetapi bank mengirimkannya kepada rekening nasabah
yang dituju tersebut. Berikut adalah proses pentrasferan uang melalui cabang
sebuah bank.
d. Transfer melalui ATM
Kemudian ada
juga proses transfer uang dimana pendelegasian untuk mengirimkan uang, tidak
secara langsung uangnya diberikan dari Al-Muwakkil kepada bank sebagai Al-Wakil.
Dalam model ini, Nasabah Al-Muwakkil meminta bank untuk mendebet
rekening tabungannya, dan kemudian meminta bank untuk menambahkan di rekening
nasabah yang dituju sebesar pengurangan pada rekeningnya sendiri. Yang sangat
sering terjadi saat ini adalah proses yang ketiga ini, dimana nasabah bisa
melakukan transfer sendiri melalui mesin ATM.
2.
Letter Of
Credit Import Syariah
Akad untuk
transaksi Letter of Credit Import Syariah ini menggunakan akad Wakalah
Bil Ujrah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor:
34/DSN-MUI/IX/2002. Akad Wakalah bil Ujrah ini memiliki definisi dimana
nasabah memberikan kuasa kepada bank dengan imbalan pemberian ujrah atau fee.
Namun ada beberapa modifikasi dalam akad ini sesuai dengan sutuasi yang
terjadi.[7]
a. Akad Wakalah
bil Ujrah dengan ketentuan:
1) Importir harus
memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran barang yang diimpor.
2) Importir dan
Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen
transaksi impor.
3) Besar ujrah harus disepakati diawal dan
dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.
b. Akad Wakalah
bil Ujrah dan Qardh dengan ketentuan:
1) Importir tidak
memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor.
2) Importir dan Bank melakukan akad Wakalah
bil Ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor.
3) Besar ujrah harus
disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk
prosentase.
Bank memberikan dana talangan (qardh)
kepada importir untuk pelunasan pembayaran barang impor.
c. Akad Wakalah
bil Ujrah dan Mudharabah, dengan ketentuan:
1) Nasabah
melakukan akad wakalah bil ujrah kepada bank untuk melakukan pengurusan
dokumen dan pembayaran.
2) Bank dan importir melakukan akad Mudharabah,
dimana bank bertindak selaku shahibul mal menyerahkan modal kepada
importir sebesar harga barang yang diimpor.
d. Akad Wakalah
bil Ujrah dan Hiwalah, dengan ketentuan:
1) Importir tidak
memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor.
2) Importir dan
Bank melakukan akad Wakalah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi
impor.
3) Besar ujrah harus disepakati di awal
dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk presentase.
Hutang kepada eksportir dialihkan oleh
importir menjadi hutang kepada Bank dengan meminta bank membayar kepada
eksportir senilai barang yang diimpor.
3.
Letter Of Credit Eksport Syariah
Akad untuk transaksi Letter of
Credit Eksport Syariah ini menggunakan akad Wakalah. Hal ini sesuai
dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 35/DSN-MUI/IX/2002. Akad Wakalah ini
memiliki definisi dimana bank menerbitkan surat pernyataan akan membayar kepada
eksportir untuk memfasilitasi perdagangan eksport. Namun ada
beberapa modifikasi dalam akad ini sesuai dengan sutuasi yang terjadi.
a. Akad Wakalah
bil Ujrah dengan ketentuan:
1) Bank melakukan
pengurusan dokumen-dokumen ekspor.
2) Bank melakukan
penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuing bank), selanjutnya
dibayarkan kepada eksportir setelah dikurangi ujrah.[8]
4.
Investasi Reksadana Syariah
Akad untuk transaksi Investasi Reksadana Syariah ini
menggunakan akad Wakalah dan Mudharabah. Hal ini sesuai dengan
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 20/DSN-MUI/IV/2001. Akad Wakalah ini
memiliki definisi dimana pemilik modal memberikan kuasa kepada manajer
investasi agar memiliki kewenangan untuk menginvestasikan dana dari pemilik modal.
5.
Pembiayaan Rekening Koran Syariah
Akad untuk transaksi pembiayaan rekening koran syariah
ini menggunakan akad Wakalah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah
Nasional Nomor: 30/DSN/VI/2002. Akad Wakalah ini memiliki definisi
dimana bank memberikan kuasa kepada nasabah untuk melakukan transaksi yang
diperlukan.
6.
Asuransi Syariah
Akad untuk Asuransi syariah ini menggunakan akad Wakalah
bil Ujrah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor:
52/DSN-MUI/III/2006. Akad Wakalah bil Ujrah ini memiliki definisi dimana
pemegang polis memberikan kuasa kepada pihak asuransi untuk menyimpannya ke
dalam tabungan maupun ke dalam non-tabungan.
Dalam model ini, pihak asuransi berperan sebagai Al-Wakil
dan pemegang polis sebagai Al-Muwakil.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Wakalah termasuk salah satu akad yang terdapat dalam kaidah Fiqh
Muamalah, akad Wakalah dapat diterima. Wakalah itu berarti
perlindungan, penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
Dari jenisnya Wakalah terbagi
menjadi wakalah al muthlaqah, yaitu
mewakilkan secara mutlak, Wakalah al
muqayyadah dan Wakalah al ammaha,
dari tinjauan hukum, Wakalah di tetapkan dengan dasar hukum yang bersumber
dari Al-quran, Hadits dan ijam' ulama.
Rukun dan syarat al-wakalah
adalah adanya Al-Muwakkil (Pemberi
kuasa), Al-Wakil (Penerima kuasa), Shighat (ucapan perwakilan) dan Al-Muwakkal fihi (obyek atau pekerjaan
yang dikuasakan). Dan wakalah akan berakhir apabila di batalkan oleh kedua
belah pihak, kedua belah pihak mengalami kecacatan tasharruf dan hilangnya
status kepemilikan si pemberi kuasa.
Aplikasi wakalah dalam dalam kehidupan sehari-hari
yaitu contohnya dalam perbankan, berbentuk jasa pelayanan, bank dapat
menjadi wakil untuk melakukan pembayaran tagihan listrik atau telepon kepada
perusahaan listrik/perusahaan telepon
B.
Saran
Penyusun berharap, siapa saja
dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penyusun demi sempurnanya
makalah ini dan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya menjadi lebih baik.
Semoga makalah ini berguna bagi penyusun pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Jalil,
Ma’ruf. Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
Ash-Shahihah
Antonio, M.
Syafi’i. 2001. Bank Syariah: Dari
Teori ke Praktik. Jakarta: Tazkia Cendekia.
Ascarya.
2007. Akad dam produk Bank Syariah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
Azhim, Abdul. Al-Wajiz
Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz.
Az-Zuhaili,
Wahbah. 1997. Al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu. Damaskus: Darul Fikr.
Dewan Syariah
Nasional, Fatwa tentang Hawalah, No.12 /DSN-MUI/IV/2000, Majelis Ulama
Indonesia
Dewan Syariah Nasional, Fatwa
tentang Letter of Credit (L/C) Impor Syariah, No.34 /DSN-MUI/IX/2002,
Majelis Ulama Indonesia
Dewan Syariah Nasional, Fatwa
tentang Wakalah No.10/DSN-MUI/IV/2000, Majelis Ulama Indonesia
Dewan Syariah Nasional, Fatwa
tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi Syariah No.52/DSN-MUI/III/2006,
Majelis Ulama Indonesia
Sabiq,
Sayyid. 1987. Fiqhus Sunnah. Cetakan ke-8, vol. III. Beirut: Darul al-Arabi.
(http//pa_tanahgrogot.net)
[1] Sayyid Sabiq. Fiqhus Sunnah. Hlm. 213
[2] Drs. Azhari, M,HI. Jenis-jenis Akad Dalam Perbankan Syari’ah.
[3] M. Syafii. Antonio. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek.
Hlm. 121.
[4] Malik
no. 678, kitab al-Muwaththa’, bab Haji
[5] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu. Hlm.
4060
[6] Drs. Azhari, M,HI. Jenis-jenis Akad Dalam Perbankan Syari’ah. Hlm.
102
[7] Dewan Syariah Nasional, Fatwa
tentang Letter of Credit (L/C) Impor Syariah, No.34 /DSN-MUI/IX/2002,
Majelis Ulama Indonesia
[8] Dewan Syariah Nasional, Fatwa tentang Akad Wakalah Bil
Ujrah pada Asuransi Syariah No.52/DSN-MUI/III/2006, Majelis Ulama
Indonesia